
Oprah Winfrey dalam
buku Quantum Ikhlas yang ditulis
Erbe Sentanu (2007) mengatakan, “Manusia dibimbing oleh kekuatan yang lebih
tinggi yang lebih berupa perasaan ketimbang pikiran. Dan ketika kita memahami
kekuatan perasaan itu, kita tahu pasti bahwa kekuatan itu datang dari Tuhan.”
Manusia sangat beruntung karena diberikan instrumen navigasi luar biasa
oleh Tuhan, berupa perasaan di hatinya.
Perasaan atau emosi ini merupakan alat utama untuk mengukur, seberapa jauh
atau dekatnya kita dari tujuan kita atau sumber “aliran berkah” Sang Pencipta,
yaitu ketika perasaan itu positif atau ikhlas. Sebaliknya, ketika perasaan kita
negatif atau nafsu, kita relatif jauh dari “pintu berkah” untuk mencapai tujuan
kita.
Perasaan positif menunjukkan jalur energi ilahi yang terbuka, dan perasaan
negatif menunjukkan jalur energi ilahi yang tertutup. Melalui instrumen
navigasi ini, kita dapat mengetahui bahwa di dalam diri kita terdapat dua zona,
yaitu zona nafsu dan zona ikhlas.
Zona nafsu adalah
wilayah hati yang dipenuhi dengan keinginan namun terasa menyesakkan dada. Zona
ini diselimuti oleh energi rendah (lo-energy) karena yang ada di dalamnya
adalah perasaan negatif: cemas, takut, keluh kesah, dan amarah. Sedangkan zona
ikhlas adalah zona yang bebas hambatan, terasa lapang di hati.
Energi yang
menyelimuti zona ikhlas adalah perasaan-perasaan positif yang berenergi tinggi
(hi-energy) seperti rasa syukur, sabar, tenang, damai, bahagia.
Perasaan adalah bahan baku inti dari
pikiran kita, dan melalui perasaan, kita mengundang apa yang kita pikirkan.
Maka operasikan pikiran itu dengan sengaja, yaitu memilih pikiran yang positif
sambil mem-perhatikan betul bagaimana rasanya pikiran-pikiran itu, dan upayakan
agar semua pikiran itu terasa enak dan ikhlas.
Apabila terasa tidak enak, artinya kita masih jauh dari yang kita inginkan.
Tetapi kalau perasaan di hati sudah enak dan semakin enak, pertanda kita sudah
semakin dekat dengan yang kita inginkan.
Sekarang saatnya bagi kita untuk merevisi konsep kita mengenai “perubahan
“paradigma” yang mendewakan/men-Tuhan-kan pikiran (positive thinking), yang
menyebutkan “Anda akan mendapatkan apa yang paling sering Anda pikirkan” dengan
paradigma hati (positive feeling): “kita akan mendapatkan apa yang paling
sering kita rasakan (sewaktu kita memikirkannya)”.
Konsep berpikir positif yang selama ini kita pahami sesungguhnya
mengabaikan pentingnya memperhatikan perasaan pada saat kita berpikir. Padahal
kita semua sepakat bahwa pikiran kita (12%) hanyalah efek dari perasaan kita
(88%). Maka apa pun dan bagaimana pun upaya kita untuk membentuk pikiran agar
positif, kalau perasaan kita masih negatif, pasti pikiran kita kembali negatif.
Oleh karena itu melatih pikiran postif yang rasanya enak merupakan keharusan
bagi kita, apabila kita menginginkan sesuatu itu benar-benar terjadi.
1 komentar:
Sepakat ustadz!
Posting Komentar