YANG MENGHARUKAN DARI SEKERAT DAGING BAGI SARTONO
Sebulan yang lalu, saat prosesi distribusi kurban di perkampungan lereng Gunung Merapi, Sleman, tatapan saya tak lepas pada keluarga Sartono. Ia membaur di antara ratusan warga yang menunggu giliran jatah sekerat daging qurban hari itu. Mengapa sekerat? Tiga ekor kambing dari sebuah posko relawan tanggap merapi dibagi rata untuk 200 keluarga pada hari tasyrik ke tiga.
Bahkan kulit kambing yang bagi sebagian masyarakat dijual murah begitu saja, ikut dibersihkan bulunya kemudian dicacah kecil-kecil hingga terbagi rata. Pada saat prosesi ini, siapapun yang menyaksikan tak kuat menahan haru. Tiba giliran Sartono mengambil sejumput daging yang terbungkus daun pisang. Petani yang sehari-hari menggarap lahan hutan itu, kemudian bergegas pulang ke rumahnya. Di halaman, tiga anak Sartono yang masih kecil menyerbu girang.
“Iwak wedhus yo pak, enak to pak (daging kambing ya pak, enak kan pak)," cecar anak pertama Sartono yang duduk di bangku SD kelas 4. Sartono hanya senyum, kemudian menyerahkan bungkusan daun pisang itu pada istrinya. Anak-anak Sartono tak mau jauh sejengkal pun, dari bungkusan itu. Bahkan saat ibunya menyiapkan perapian di tungku dapur yang terbuat dari tanah liat, ketiga anak Sartono setia menunggui. Mereka seakan tak rela, jika seekor lalat pun hinggap.
Di atas tungku dapur, istri Sartono merebus air di dalam panci yang sudah tampak usang. Kemudian bungkusan itu dibuka, tanpa dicuci lebih dulu. Tampak sejimpit daging, ditimpali potongan tulang. Jika ditimbang, tak lebih dari seperempat kilogram. Amat sedikit, jika dimakan satu orang saja kurang. Tak ada bumbu istimewa diracik, hanya garam dan bawang merah.
Suasana jadi merinding, saat anak-anak Sartono tak beringsut dari tungku dapur. Marno, anak nomor dua bahkan menundukkan wajahnya tepat di atas panci. Kemudian ia mengisap dalam-dalam asap dari dalam panci yang berbau kuah kambing itu. “Hmmm, seger yo kang. Enak. Jajalo. (segar ya mas. Enak. Cobalah)," kata Marno pada kakaknya.
Tak lama kemudian, sang kakak mengikuti saran adiknya. Kemudian diikuti adiknya yang paling kecil. “Iyo enak. Wedhus teko ngendi to pake, (iya enak. Kambing dari mana pak)," tanya anak tertua Sartono padanya. “Orang Jogja," jawab Sartono singkat. Sekilas, lelaki paruh baya itu matanya berkaca-kaca.
“Mohon dimaklumi anak-anak saya, Mas. Malu saya, maklum bocah gunung nggak pernah makan daging," Sartono berusaha menjelaskan. Setelah satu jam berlalu, istri Sartono memberi isyarat masakan sudah matang. Saat itulah, anak-anak Sartono meninggalkan sekerat tulang yang direbus itu dari sejak ayahnya datang. Mereka berburu mengambil piring. Di atas lantai tanah, anak-anak itu duduk bersila menunggu Sang Ibu membagi kuah dan keratan tulang kambing.
Di atas piring sudah diisi nasi tiwul tanpa campuran beras sedikit pun. Tiwul (nasi dari singkong kering) masih jadi makanan pokok, bagi sebagian masyarakat di lereng Gunung Merapi. Anak-anak Sartono makan, begitu lahapnya. Tak ketinggalan istri Sartono juga ikut bergabung. Disusul kemudian Sartono sendiri menyantap menu qurban hari itu. Saya memilih makan nasi tiwul, ditemani sambel teri dan lalapan daun singkong masakan istri Sartono. Sungguh nikmat, meski haru mencabik-cabik.
Makan siang usai. Tapi, lagi-lagi ada yang janggal. Menengok piring makan anak-anak Sartono masih menyisakan keratan tulang. Hanya suiran daging sedikt yang dimakan. Mendadak, Marno yang paling banyak ngomongnya nyeletuk. “Bu disimpan buat makan nanti sore. Jangan hilang ya," tenggorokan saya terasa tercekat. Mendadak ingat daging yang melimpah di Arab Saudi melengkapi prosesi haji. Juga terbayang pesta daging kurban di kota-kota besar yang orang kaya pun ikut menikmati.
Siang itu, raut wajah gembira tersaji murni. Senyum simpul anak-anak Sartono nyaris sulit ditulis. Tapi, cerita ini harus saya bagi dengan Anda semua. Bahwa sekerat daging bisa jadi bagi kita tak berarti, tapi bagi keluarga Sartono sepotong tulang pun asupan gizi yang tak tentu setahun sekali dinikmati.
*******************************************
GADIS MATEMATIS DAN GADIS LOGIS
-------------------------- ------------------
Ada dua orang gadis, salah satu dari mereka cara
berpikirnya MATEMATIS (GM) dan yang satunya cara berpikirnya mengandalkan
LOGIKA (GL). Mereka berdua berjalan pulang melewati jalan yang gelap, dan jarak
rumah mereka masih agak jauh. Setelah beberapa lama mereka berjalan….
GM : Apakah kamu perhatikan, ada pria yang sedang berjalan
mengikuti kita kira2 sejak tigapuluh delapan setengah menit yang lalu? Saya
khawatir dia bermaksud jelek.
GL : Itu hal yang Logis, laki2 suka goda
wanita. Hal terburuk yang akan terjadi paling dia akan memperkosa kita.
GM : Oh tidak....., dengan kecepatan
berjalan kita seperti ini, dalam waktu 15 menit dia akan berhasil menangkap
kita. Apa yang harus kita lakukan.
GL : Hanya ada 1 cara logis yg harus kita
lakukan, yaitu berjalan lebih cepat.
GM : Itu tidak banyak membantu, langkah dan
kecepatan dia melebihi kita, gimana nich…..
GL : Makanya, tentu saja itu tidak
membantu, Logikanya kalau kita berjalan lebih cepat dia juga akan jauh lebih
cepat.
GM : Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Dengan kecepatan kita seperti ini dia akan berhasil menangkap kita dalam waktu
dua setengah menit…
GL : Hanya ada satu langkah Logis yang
harus kita lakukan.. Kamu lewat jalan yang ke kiri dan aku lewat jalan yang ke
kanan. sehingga dia tidak bisa mengikuti kita berdua dan hanya salah satu yang
diikuti olehnya.
Setelah kedua gadis itu berpisah, ternyata
Pria tadi mengikuti langkah si gadis yang menggunakan logika (GL). Gadis
matematis (GM) tiba di rumah lebih dulu dan dia khawatir akan keselamatan
sahabatnya. Tapi, tidak berapa lama kemudian, Gadis Logika (GL) datang.
GM : Oh alhamdulillah.. kamu tiba dengan
selamat. Eh, gimana pengalamanmu diikuti oleh Pria tadi?
GL : Setelah kita berpisah dia mengikuti
aku terus.
GM : Ya.. ya.. Tetapi apa yang terjadi
kemudian dengan kamu?
GL : Sesuai dengan logika saya langsung
lari sekuat tenaga dan Pria itupun juga lari sekuat tenaga mengejar saya.
GM : Dan… dan...
GL : Sesuai dengan logika dia berhasil
mendekati saya di tempat yang gelap…
GM : Lalu.. Apa yang kamu lakukan ?
GL : Hanya ada satu hal logis yang dapat
saya lakukan, yaitu saya mengangkat rok saya..
GM : Oh… Lalu apa yang dilakukan pria tadi?
GL : Sesuai dengan logika… Dia menurunkan
celananya…
GM : Oh tidak… Lalu apa yang terjadi kemudian?
GL : Hal yang logis bukan, kalau gadis yang
mengangkat roknya larinya lebih cepat dari pada lelaki yang berlari sambil
memelorotkan celananya… So akhirnya aku bisa lolos dari pria itu…
--------------------------