28 Mei 2012

Aku Lupa Caranya Menangis

Ibuku selalu menghardik kala kecil bila aku terjatuh, "Laki-laki itu ndak boleh nangisan dan cengeng". Seratus kali aku menangis, seratus kali juga kata-kata itu terucap. Tangisan itu lalu terbungkus rasa malu dan karena itu membuatku lupa untuk menangis.
Aku lupa caranya menangis. Tangisan layaknya bayi, air susu pun mengalir, tangisan Adam dan Hawa sehingga diperjumpakan kembali, tangisan yang mengiringi setiap kematian, tangisan realitas sesal atas dosa yang terjadi dan tangisan perpisahan terhadap orang yang kita sayangi. 

Menangis bukan hanya hak wanita. Setiap raga yang memiliki jiwa pasti pernah menangis, setidaknya menangis saat dilahirkan, menangis dalam hati, dan menangis di hadapan Sang Pencipta. Sungguh aku telah lupa bagaimana caranya menangis.


Tangisan tak selalu menjadi simbol kerapuhan, kecengengan atau kelemahan. Jika tangisan bisa melemahkan seseorang, tangisan pun bisa menguatkan ketegaran seseorang melampiaskan duka. Dalam kepasrahan yang dalam, tangisan mampu mengembalikan kesadaran manusia akan fitrahnya, tangisan mampu melarutkan jiwa dalam doa yang khusyuk, tangisan mampu menghantar penyesalan totalitas dan penyerahan diri kepada Yang Maha Kuasa.


Aku benar-benar merindukan tangisan itu, tangisan yang membuatku seperti terlahir kembali ke dunia atau tangisan saat aku pergi dan tak kembali selamanya.

Tidak ada komentar: